hakikat belajar dan bahasa
HAKIKAT BELAJAR DAN BAHASA

O
L
E
H
NAMA
: NOBERTUS HARDU
NIM :51306042
KELAS:
B
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS PANCASAKTI
MAKASSAR
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Revolusi di bidang teknologi komunikasi dan informasi ternyata telah
mempengaruhi hampir seluruh sendi-sendi kehidupan manusia modern, termasuk
dalam dunia pendidikan dengan munculnya istilah-istilah seperti e-learning,
e-book sampai e-education. Revolusi ini juga berpengaruh pada
paradigma pendidikan akan “tempat” belajar, dimana gedung sekolah yang berdiri
tegak dengan atap dan dinding akan semakin tak populer karena manusia bisa
belajar di mana saja dengan bantuan teknologi. Di sini yang terpenting adalah
interaksi manusia itu dengan materi pelajaran dan proses terusannya, pemahaman
dan penguasaan ilmu. Di mana (sekolah?) atau kapan (pagi atau siang?) tidak
lagi menjadi pertanyaan penting sebab otak manusia sekarang sudah terbiasa
dengan konsep ruang dan waktu yang bersifat relatif.
Belajar merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan pribadi dan
perilaku individu. Nana Syaodih Sukmadinata (2005) menyebutkan bahwa sebagian
terbesar perkembangan individu berlangsung melalui kegiatan belajar.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun masalah yang ingin diajukan
penulis pada makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Jelaskan yang dimaksud dengan
hakikat belajar dan bahasa?
2. Jelaskan tujuan dari Hakikat belajar dan bahasa?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
HAKIKAT
BELAJAR
a. Pengertian Belajar
Belajar
adalah suatu proses yang berlangsung di dalam diri seseorang yang mengubah
tingkah lakunya, baik tingkah laku dalam berpikir, bersikap, dan berbuat (W.
Gulö, 2002: 23). Pada dasarnya belajar merupakan tahapan perubahan prilaku
siswa yang relatif positif dan mantap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan
yang melibatkan proses kognitif (syah, 2003), dengan kata lain belajar
merupakan kegiatan berproses yang terdiri dari beberapa tahap. Tahapan dalam
belajar tergantung pada fase-fase belajar, dan salah satu tahapannya adalah
yang dikemukakan oleh witting yaitu :
·
Tahap
acquisition, yaitu tahapan perolehan informasi;
·
Tahap
storage, yaitu tahapan penyimpanan informasi;
·
Tahap
retrieval, yaitu tahapan pendekatan kembali informasi (Syah, 2003).
Definisi yang lain menyebutkan bahwa belajar adalah sebuah
proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh sebuah perubahan tingkah
laku yang menetap, baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat
diamati secara langsung, yang terjadi sebagai suatu hasil latihan atau
pengalaman dalam interaksinya dengan lingkungan (Roziqin, 2007: 62).
Dari berbagai
definisi para ahli di atas, dapat disimpulkan adanya beberapa ciri belajar,
yaitu:
1)
Belajar
ditandai dengan perubahan tingkah laku (change behavior).
2)
Perubahan
perilaku relative permanent. Ini berarti, bahwa perubahan tingkah laku yang
terjadi karena belajar untuk waktu tertentu akan tetap atau tidak berubah-ubah.
3)
Perubahan
tingkah laku tidak harus segera dapat diamati pada saat proses belajar sedang
berlangsung, perubahan perilaku tersebut bersifat potensial
4)
Perubahan
tingkah laku merupakan hasillatihan atau pengalaman
5)
Pengalaman
atau latihan itu dapat memberi penguatan.
Di dalam tugas melaksanakan proses belajar mengajar, seorang
guru perlu memperhatikan beberapa prinsip belajar berikut:
1) Apa pun yang dipelajari siswa,
dialah yang harus belajar bukan orang lain.
2) Setiap siswa belajar sesuai dengan
tingkat kemampuannya
3) Siswa akan dapat belajar dengan baik
bila mendapat penguatan langsung pada setiap langkah yang dilakukan selama
proses belajar.
4) Penguasaan yang sempurna dari setiap
langkah yang dilakukan siswa akan membuat proses belajar lebih berarti.
5) Motivasi belajar siswa akan lebih
meningkat apabila ia diberikan tanggung jawab dan kepercayaan penuh atas belajarnya.
Dari beberapa pengertian belajar tersebut diatas, kata kunci
dari belajar adalah perubahan perilaku. Dalam hal ini, Moh Surya (1997)
mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu :
Ø Perubahan yang disadari dan
disengaja (intensional).
Perubahan perilaku yang terjadi
merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu
juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa dalam
dirinya telah terjadi perubahan
Ø Perubahan yang berkesinambungan
(kontinyu).
Bertambahnya pengetahuan atau
keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan dari keterampilan
yang telah diperoleh sebelumnya.
Ø Perubahan yang fungsional.
Setiap perubahan perilaku yang
terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang bersangkutan,
baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang.
Ø Perubahan yang bersifat positif.
Perubahan perilaku yang terjadi
bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan.
Ø Perubahan yang bersifat aktif.
Untuk memperoleh perilaku baru,
individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan perubahan.
Ø Perubahan yang bersifat pemanen.
Perubahan perilaku yang diperoleh
dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam
dirinya.
Ø Perubahan yang bertujuan dan terarah.
Individu melakukan kegiatan belajar
pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah
maupun jangka panjang.
Ø Perubahan perilaku secara
keseluruhan.
Perubahan perilaku belajar bukan
hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi termasuk memperoleh pula
perubahan dalam sikap dan keterampilannya. seorang guru menguasai “Teori-Teori
Belajar”. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan
“Teori-Teori Belajar”.
b. Hakekat Belajar
Secara
umum istilah belajar dimaknai sebagai suatu kegiatan yang mengakibatkan
terjadinya perubahan tingkah laku. Dengan pengertian demikian, maka belajar
dapat dimaknai sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa,
sehingga tingkah laku peserta didik berubah ke arah yang lebih baik (Darsono,
2000: 24). Adapun yang dimaksud dengan proses belajar adalah sarana dan cara
bagaimana suatu generasi belajar, atau dengan kata lain bagaimana sarana
belajar itu secara efektif digunakan. Hal ini tentu berbeda dengan proses belajar
yang diartikan sebagai cara bagaimana para pembelajar itu memiliki dan
mengakses isi pelajaran itu sendiri (Tilaar, 2002: 128).
Berangkat dari pengertian tersebut, maka dapat dipahami
bahwa belajar membutuhkan hubungan dialogis yang sungguh-sungguh antara guru
dan peserta didik, dimana penekanannya adalah pada proses belajar oleh peserta
didik (student of learning), dan bukan pengajaran oleh guru (teacher
of teaching) (Suryosubroto, 1997: 34). Konsep seperti ini membawa
konsekuensi kepada fokus belajar yang lebih ditekankan pada keaktifan peserta
didik sehingga proses yang terjadi dapat menjelaskan sejauh mana tujuan-tujuan
belajar yang telah ditetapkan dapat dicapai oleh peserta didik.
Keaktifan peserta didik ini tidak hanya
dituntut secara fisik saja, tetapi juga dari segi kejiwaan. Apabila hanya fisik
peserta didik saja yang aktif, tetapi pikiran dan mentalnya kurang aktif, maka
kemungkinan besar tujuan belajar tidak tercapai. Ini sama halnya dengan peserta
didik tidak belajar, karena peserta didik tidak merasakan perubahan di dalam
dirinya (Fathurrohman & Sutikno, 2007: 9).
Belajar
pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan,
sehingga terjadi perubahan perilaku kearah yang lebih baik. Dan tugas guru
adalah mengkoordinasikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan
perilaku bagi peserta didik. Belajar juga dapat diartikan sebagai usaha sadar
pendidik untuk membantu peserta didik agar mereka dapat belajar sesuai dengan
kebutuhan dan minatnya. Disini pendidik berperan sebagai fasilitator yang
menyediakan fasilitas dan menciptakan situasi yang mendukung peningkatan
kemampuan belajar peserta didik.
Fungsi-fungsi belajar yaitu sebagai
berikut:
1. Belajar sebagai system
Belajar sebagai sistem terdiri dari sejumlah komponen yang
terorganisir antara lain tujuan belajar , materi belajar , strategi dan metode
belajar, media belajar/alat peraga , pengorganisasian kelas, evaluasi belajar,
dan tindak lanjut belajar (remedial dan pengayaan).
2.
Belajar sebagai proses
Belajar sebagai proses merupakan rangkaian upaya atau
kegiatan guru dalam rangka membuat siswa belaja, meliputi:
a) Persiapan, merencanakan program
pengajaran tahunan, semester, dan penyusunan persiapan mengajar (lesson
plan) dan penyiapan perangkat kelengkapannya antara lain alat peraga,
dan alat evaluasi, buku atau media cetak lainnya.
b) Melaksanakan kegiatan belajar dengan mengacu pada persiapan
belajar yang telah dibuatnya. Banyak dipengaruhi oleh pendekatan atau
strategi dan metode-metode belajar yang telah dipilih dan dirancang
penerapannya, serta filosofi kerja dan komitmen guru , persepsi, dan sikapnya
terhadap siswa;
c) Menindaklanjuti belajar yang telah dikelolanya.
Kegiatan pasca belajar ini dapat berbentuk enrichment (pengayaan), dapat
pula berupa pemberian layanan remedial teaching bagi siswa yang
berkesulitan belajar.
Ciri-ciri belajar sebagai berikut :
- Merupakan upaya sadar dan disengaja
- Belajar harus membuat siswa belajar
- Tujuan harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum proses dilaksanakan
- Pelaksanaannya terkendali, baik isinya, waktu, proses maupun hasil
c. Tujuan Belajar
Tujuan
belajar adalah sejumlah hasil belajar yang menunjukkan bahwa siswa telah
melakukan tugas belajar, yang umumnya meliputi pengetahuan,keterampilan dan
sikap-sikap yang baru, yang diharapkan tercapai oleh siswa. tujuan belajar
adalah suatu deskripsi mengenai tingkah laku yang diharapkan tercapai oleh
siswa setelah berlangsungnya proses belajar.
Tujuan belajar menurut Sukandi (1983: 18)
adalah mengadakan perubahan tingkah laku dan perbuatan. Perubahan itu dapat
dinyatakan sebagai suatu kecakapan keterampilan, kebiasaan, sikap, pengertian,
sebagai pengetahuan atau penerimaan dan penghargaan. Sedangkan Surakhmat(1986)
mengatakan bahwa tujuan belajar adalah mengumpulkan pengetahuan, penanaman
konsep dan pengetahuan, dan pembentukan sikap dan perbuatan.
B.
HAKIKAT
BAHASA
Pada hakikatnya belajar bahasa adalah belajar
berkomunikasi. Oleh karena itu pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia baik
secara lisan maupun tertulis (Depdikbud, 1995:9). Kemampuan menggunakan bahasa
dalam komunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa.
Untuk mencapai tujuan itu diperlukan pendekatan dalam pembelajaran yang sesuai
dengan kebutuhan perkembangan anak. Untuk itu, dalam kurikulum pendidikan dasar
1994 rambu-rambu pembelajaran bahasa dianjurkan agar dalam pelaksanaan
pembelajaran bahasa yang mencakup aspek mendengarkan, berbicara, membaca,
menulis, dan sastra Indonesia dapat dipadukan atau dikaitkan dengan mata
pelajaran lain seperti IPA, IPS, dan matematika (Depdikbud, 1995:12).
Pendekatan terpadu dalam
pembelajaran bahasa dilandasi pandangan bahasa holistic (whole language) yang
memperlakukan bahasa sebagai sesuatu yang bulat dan utuh. Pada hakikatnya whole
language merupakan falsafah pandangan atau keyakinan tentang hakikat belajar
dan bagaimana anak belajar secara optimal (Akhadiah, 1994:10). Selanjutnya
Weaver menyatakan bahwa whole language pada dasarnya merupakan falsafah
pandangan atau keyakinan tentang hakikat belajar dan bagaimana anak dapat
belajar secara optimal. Sistem landasan keterpaduan dalam pembelajaran bahasa
menyatakan bahwa belajar bahasa akan lebih mudah terjadi jika bahasa itu
disajikan secara holistic nyata, relevan, bermakna, serta fungsional, jika
bahasa itu disajikan dalam konteks pembicaraan dan dipilih siswa untuk
digunakan.
Bahasa hanya merupakan bahasa jika merupakan keseluruhan. Sedangkan
Yeager (1991:1) menyatakan bahwa pembelajaran bahasa secara terpadu menaruh
penghargaan terhadap bahasa dan dengan seksama meningkatkan penguasaan bahasa
siswa. Selanjutnya Eisele menyatakan bahwa pada hakikatnya whole language itu
bukan sesuatu apa/berbeda, dan ini bukan sebuah perangkat materi/bahan dan
bukan sebuah resep untuk sukses. Whole language adalah suatu cara berpikir
tentang bagaimana anak belajar bahasa-bahasa lisan dan bahasa tulisan (Eisele,
1991:3). Anak itu secara alamiah memperoleh bahasa lisan melalui mendengarkan
(menyimak) dan berbicara. Selama tahun-tahun perkembangan ini, kesempurnaan itu
diharapkan; anak-anak itu bebas berbuat kekeliruan. Orang dewasa mengerti dan
menerima sebab mereka menyadari bahwa belajar itu perlu waktu dan latihan. Bagaimanapun
ketika anak memulai membaca dan menulis, cepat berhasil itu sering diharapkan.
Berkaitan dengan bahasa lisan, anak-anak perlu banyak latihan membaca dan
menulis melalui pengalaman-pengalaman yang bermakna. Mereka juga perlu
kebebasan untuk berbuat keliru dan belajar dari kekeliruan mereka itu. Oleh
karena para guru whole language mengetahui bagaimana belajar bahasa, mereka
memberikan waktu dan kesempatan belajar praktik untuk perkembangan baca-tulis.
Tidak ada sebuah resep untuk program whole language, tetapi kelas ini untuk memadukan beberapa holis saja. Para siswa di dalam kelas whole language akan melakukan
Tidak ada sebuah resep untuk program whole language, tetapi kelas ini untuk memadukan beberapa holis saja. Para siswa di dalam kelas whole language akan melakukan
Ø berkembang melalui tahap-tahap
sesuai dengan perkembangan,
Ø dilibatkan di dalam interaksi sosial
sepanjang hari,
Ø berbagai tanggungjawab untuk belajar
mereka,
Ø merasa senang mencoba dan praktik
baca dan tulis tanpa takut kritikan,
Ø mengevaluasi kemajuan mereka sebagai
bagian alami dari semua pengalaman belajar.
Guru di dalam kelas whole language akan melakukan
a. memandang para siswa sebagai berkemampuan,
b. menjadi pengamat dan turut serta
belajar saat mereka berinteraksi dengan para siswa,
c. mendemonstrasikan dan memberikan
model bacaan dan tulisan,
d. berperan sebagai fasilitator untuk
murid belajar, dan
e. olist kepada siswa kekhususan, umpan
balik yang positif.
Pembelajaran
di dalam kelas whole language adalah :
1) Mengajarkan membaca dan menulis
melalui pengalaman bacaan dan tulisan autentik,
2) berasumsi isi dan proses belajar adalah sama
pentingnya,
3) mengimplementasikan aktivitas kelas
yang dipusatkan kepada para siswa dan yang bermakna,
4) merangkumkan pemaduan proses bahasa
dengan melintasi bidang-bidang isi (mata pelajaran),
5) memberikan bacaan berkualitas untuk
membantu perkembangan literasi,
6) tujuan itu sebagai alat pemberdayaan
siswa melalui kepemilikan dan pemilihan.
Eisele juga menyatakan bahwa perubahan-perubahan positif dan menarik pada murid dan guru sebagai hasil dari penggunaan filosofi whole language. Perubahan-perubahan itu meliputi:
Eisele juga menyatakan bahwa perubahan-perubahan positif dan menarik pada murid dan guru sebagai hasil dari penggunaan filosofi whole language. Perubahan-perubahan itu meliputi:
a. siswa di dalam kelas whole language
untuk belajar. Kegairahan mereka memperlancar semangat guru untuk mengajar,
b. murid ikut mengambil tanggungjawab
yang lebih besar atas belajar sebagai hasil dari pengelolaan kelas yang lebih
baik dan lebih banyak waktu bagi guru untuk berinteraksi dengan siswa,
c. penggunaan buku yang diperdagangkan
dan pengalaman penulis yang bermakna adalah lebih memberikan motivasi pada diri
guru dan siswa,
d. guru akan lebih banyak belajar
tentang lierasi dan proses bahasa anak-anak melalui pemanfaatan mereka di dalam
pembelajaran sehari-hari,
e. kegairahan, semangat dan minat guru
akan membuat guru memperoleh inspirasi dan pembaharuan pada penutupan
pembelajaran setiap harinya, dan
f. umpan balik yang positif dari orang
tua, anak, teman sejawat, dan tatausaha akan menjadi bonus tambahan bagi guru.
Pandangan whole language tentang kurikulum menjelaskan bahwa karena
bahasa paling mudah dipelajari jika disajikan secara utuh dan dalam konteks
yang alamiah, maka keterpaduan merupakan prinsip kunci untuk perkembangan
bahasa dan belajar melalui bahasa. Dalam praktiknya perkembangan bahasa dan
bidang studi merupakan dua pihak yang terpisah. Dalam hal ini Goodman dalam
Akhadiah melihat bahwa guru harus melakukan tugas ganda. Mereka harus
mengoptimalkan kesempatan siswa untuk menggunakan bentuk bahasa yang wajar pada
waktu belajar IPA, IPS, Matematika, dan Sastra. Guru sekaligus menilai
perkembangan bahasa dan perkembangan kognitrif. Kegiatan berbicara,
mendengarkan, menulis, membaca, dan berbicara dalam konteks penjelajahan benda,
peristiwa, gagasan, da pengalaman.
Untuk menerapkan pembelajaran terpadu, guru-guru yang berpandangan whole language kerap kali menciptakan unit tematik yang mungkin dikembangkan sesuai dengan kebutuhan anak dan masyarakat (Akhadiah, 1994:14). Weaver (1990) menyatakan prinsip dan praktik whole language beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Untuk menerapkan pembelajaran terpadu, guru-guru yang berpandangan whole language kerap kali menciptakan unit tematik yang mungkin dikembangkan sesuai dengan kebutuhan anak dan masyarakat (Akhadiah, 1994:14). Weaver (1990) menyatakan prinsip dan praktik whole language beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
whole language adalah suatu pandangan yang berakar pada kenvergensi antara berbagai disiplin yang mencakup psikologi kognitif dan teori belajar, psikolinguistik dan sosiolinguistik, antropologi dan filsafat, serta pendidikan.
Whole language merupakan pandangan tentang
anak dan cara mereka belajar:
a.
pandangan
whole language didasarkan atas observasi bahwa anak-anak berkembang dan belajar
dengan lebih mudah bila mereka aktif mengikuti purse proses belajar sendiri.
Mereka akan lebih mudah menguasai berbagai konsep dan strategi serta konsep
yang kompleks dalam menulis dan membaca, misalnya, bila mereka terlibat secara
nyata dalam kegiatan membaca dan menulis teks yang sebenarnya betapapun
singkatnya,
b.
untuk memacu membaca dan menulis permulaan
emergent reading and writing, whole language mencoba mencontoh strategi para
orang tua yang dengan berhasil mendorong pemerolehan bahasa dan kemampuan baca
tulissecara alamiah,
c.
berdasarkan
pengetahuan bahwa kemampuan baca tulis paling baik dikembangkan melalui
penggunaan secara fungsional, maka pengalaman membaca, menulis, berbicara, dan
mendengarkan diarahkan pada kegiatan bahasa nyata,
d.
belajar dipacu melalui interaksi social.
Diskusi, saling berbagi gagasan, kerjasama dalam memecahkan maslah dan
melaksanakan tugas meningkatkan proses belajar,
e.
siswa
dipandang cakap dan sedang berkembang,
f.
mendorong tumbuhnya sikap demokratis yang
menerapkan teknologi tinggi, pemikir dan pelaku mandiri, kritis, dan mampu
mengolah informasi (Weaver, 1990:22-26).
Wilson
menyatakan bahwa mempelajari bahasa lebih mudah apabila dipelajari secara utuh
dan dalam konteks lingkungan. Integrasi merupakan kunci untuk pengembangan
bahasa dan belajar melalui bahasa. Perluasan kurikulum berdasarkan atas
pengetahuan lingkungan anak sendiri dan menggunakan bahasa dalam konteks yang
bermakna (Wilson, 1994:1,7). Dalam pembelajaran bahasa di sekolah, guru tidak
perlu memberikan tema-tema yang spesifik karena anak-anak belajar bahasa
seperti mencari teman belajar tentang lingkungannya dan lingkungan keluarga
sendiri.
Routman menyatakan bahwa keterpaduan sudah terkandung dalam pembelajaran whole language (Routman, 1991:276). Keterpaduan bahasa adalah suatu pendekatan belajar dan cara berpikir yang menghargai keterhubungan dari proses bahasa itu seperti membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan sebagai keterpaduan pembelajaran yang berarti dalam segala bidang studi. Keterpaduan merupana pendekatan dalam belajar dan cara berpikir yang memandang proses berbahasa sebagai bagian integral dalam belajar di bidang apapun. Ini berarti bahwa khususnya di SD bahasa tidak dipelajari sebagai mata pelajaran seperti sains, misalnya, melainkan terpadu dalam penggunaannya untuk mempelajari apapun. Aspek-aspek keterampilan berbahasa dikembangkan secara langsung melalui kegiatan belajar dalam semua bidang. Agar dapat terjadi keterpaduan dalam pembelajaran dapat menggunakan unit tematik. Hal ini menjadi sarana keterpaduan di samping memberikan makna bagi anak.
Routman menyatakan bahwa keterpaduan sudah terkandung dalam pembelajaran whole language (Routman, 1991:276). Keterpaduan bahasa adalah suatu pendekatan belajar dan cara berpikir yang menghargai keterhubungan dari proses bahasa itu seperti membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan sebagai keterpaduan pembelajaran yang berarti dalam segala bidang studi. Keterpaduan merupana pendekatan dalam belajar dan cara berpikir yang memandang proses berbahasa sebagai bagian integral dalam belajar di bidang apapun. Ini berarti bahwa khususnya di SD bahasa tidak dipelajari sebagai mata pelajaran seperti sains, misalnya, melainkan terpadu dalam penggunaannya untuk mempelajari apapun. Aspek-aspek keterampilan berbahasa dikembangkan secara langsung melalui kegiatan belajar dalam semua bidang. Agar dapat terjadi keterpaduan dalam pembelajaran dapat menggunakan unit tematik. Hal ini menjadi sarana keterpaduan di samping memberikan makna bagi anak.
Dalam pelaksanaan pembelajaran, dari
semua tema itu diturunkan gagasan atau pengertian yang harus dipelajari anak
melalui kegiatan belajar dalam berbagai biodang studi. Dinyatakan pula bahwa
suatu unit tematik dapat merupakan unit terpadu hanya jika tema itu bermakna,
relevan dengan kurikulum dan kehidupan anak, sejalan dengan prinsip bahasa
holistic, dan autentik dalam hubungannya dengan proses keterampilan berbahasa.
Dalam hal ini, keterpaduan tidak harus selalu merupakan keterpaduan antar
bidang studi. Keterpaduan antar bidang studi hanya dilakukan bila keterpaduan
itu memperkaya dan memperluas proses belajar anak.
Dengan demikian, secara kasar keterpaduan dapat dibedakan sebagai keterpaduan intra bidang studi dan keterpaduan antar bidang studi. Dalam keterpaduan intra bidang studi, misalnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia, setelah tema ditentukan, kemudian dikembangkan aspek keterampilan membaca, menulis, berbicara, dan menyimak. Sedangkan keterpaduan antar bidang studi, anak-anak belajar menggunakan aspek-aspek keterampilan bahasa melalui kegiatan belajar dalam berbagai bidang studi. Mereka belajar menggunakan bahasa untuk berbagai keperluan, seperti untuk mencari atau memberikan informasi, mengungkapkan perasaan atau tanggapan, mengaanalisis, serta memecahkan permasalahan.
Dengan demikian, secara kasar keterpaduan dapat dibedakan sebagai keterpaduan intra bidang studi dan keterpaduan antar bidang studi. Dalam keterpaduan intra bidang studi, misalnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia, setelah tema ditentukan, kemudian dikembangkan aspek keterampilan membaca, menulis, berbicara, dan menyimak. Sedangkan keterpaduan antar bidang studi, anak-anak belajar menggunakan aspek-aspek keterampilan bahasa melalui kegiatan belajar dalam berbagai bidang studi. Mereka belajar menggunakan bahasa untuk berbagai keperluan, seperti untuk mencari atau memberikan informasi, mengungkapkan perasaan atau tanggapan, mengaanalisis, serta memecahkan permasalahan.
Komentar
Posting Komentar