hakikat belajar dan bahasa



HAKIKAT BELAJAR DAN BAHASA
07_smu_thumb
                                  
                

                                          

O
L
E
H
NAMA : NOBERTUS HARDU
NIM      :51306042
KELAS: B
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS  PANCASAKTI
MAKASSAR
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
      Pendidikan menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
      Revolusi di bidang teknologi komunikasi dan informasi ternyata telah mempengaruhi hampir seluruh sendi-sendi kehidupan manusia modern, termasuk dalam dunia pendidikan dengan munculnya istilah-istilah seperti e-learning, e-book sampai e-education. Revolusi ini juga berpengaruh pada paradigma pendidikan akan “tempat” belajar, dimana gedung sekolah yang berdiri tegak dengan atap dan dinding akan semakin tak populer karena manusia bisa belajar di mana saja dengan bantuan teknologi. Di sini yang terpenting adalah interaksi manusia itu dengan materi pelajaran dan proses terusannya, pemahaman dan penguasaan ilmu. Di mana (sekolah?) atau kapan (pagi atau siang?) tidak lagi menjadi pertanyaan penting sebab otak manusia sekarang sudah terbiasa dengan konsep ruang dan waktu yang bersifat relatif.
       Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Nana Syaodih Sukmadinata (2005) menyebutkan bahwa sebagian terbesar perkembangan individu berlangsung melalui kegiatan belajar.

B.     Rumusan Masalah
Adapun masalah yang ingin diajukan penulis pada makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.      Jelaskan yang dimaksud dengan hakikat belajar dan bahasa?
2.      Jelaskan tujuan dari Hakikat  belajar dan bahasa?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    HAKIKAT BELAJAR

a.       Pengertian  Belajar
Belajar adalah suatu proses yang berlangsung di dalam diri seseorang yang mengubah tingkah lakunya, baik tingkah laku dalam berpikir, bersikap, dan berbuat (W. Gulö, 2002: 23). Pada dasarnya belajar merupakan tahapan perubahan prilaku siswa yang relatif positif dan mantap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif (syah, 2003), dengan kata lain belajar merupakan kegiatan berproses yang terdiri dari beberapa tahap. Tahapan dalam belajar tergantung pada fase-fase belajar, dan salah satu tahapannya adalah yang dikemukakan oleh witting yaitu :
·         Tahap acquisition, yaitu tahapan perolehan informasi;
·         Tahap storage, yaitu tahapan penyimpanan informasi;
·         Tahap retrieval, yaitu tahapan pendekatan kembali informasi (Syah, 2003).
Definisi yang lain menyebutkan bahwa belajar adalah sebuah proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh sebuah perubahan tingkah laku yang menetap, baik  yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati secara langsung, yang terjadi sebagai suatu hasil latihan atau pengalaman dalam interaksinya dengan lingkungan (Roziqin, 2007: 62).
  Dari berbagai definisi para ahli di atas, dapat disimpulkan adanya beberapa ciri belajar, yaitu:
1)      Belajar ditandai dengan perubahan tingkah laku (change behavior).
2)      Perubahan perilaku relative permanent. Ini berarti, bahwa perubahan tingkah laku yang terjadi karena belajar untuk waktu tertentu akan tetap atau tidak berubah-ubah.
3)      Perubahan tingkah laku tidak harus segera dapat diamati pada saat proses belajar sedang berlangsung, perubahan perilaku tersebut bersifat potensial
4)      Perubahan tingkah laku merupakan hasillatihan atau pengalaman
5)      Pengalaman atau latihan itu dapat memberi penguatan.
Di dalam tugas melaksanakan proses belajar mengajar, seorang guru perlu memperhatikan beberapa prinsip belajar berikut:
1)      Apa pun yang dipelajari siswa, dialah yang harus belajar bukan orang lain.
2)      Setiap siswa belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya
3)      Siswa akan dapat belajar dengan baik bila mendapat penguatan langsung pada setiap langkah yang dilakukan selama proses belajar.
4)      Penguasaan yang sempurna dari setiap langkah yang dilakukan siswa akan membuat proses belajar lebih berarti.
5)      Motivasi belajar siswa akan lebih meningkat apabila ia diberikan tanggung jawab dan kepercayaan penuh atas belajarnya.
Dari beberapa pengertian belajar tersebut diatas, kata kunci dari belajar adalah perubahan perilaku. Dalam hal ini, Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu :
Ø  Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).
Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan
Ø  Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).
Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan dari keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya.
Ø  Perubahan yang fungsional.
Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang.
Ø  Perubahan yang bersifat positif.
Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan.
Ø  Perubahan yang bersifat aktif.
Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan perubahan.
Ø  Perubahan yang bersifat pemanen.
Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam dirinya.
Ø  Perubahan yang bertujuan dan terarah.
Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang.
Ø  Perubahan perilaku secara keseluruhan.
Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan keterampilannya. seorang guru menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan “Teori-Teori Belajar”.

b.      Hakekat  Belajar
Secara umum istilah belajar dimaknai sebagai suatu kegiatan yang mengakibatkan terjadinya perubahan tingkah laku. Dengan pengertian demikian, maka belajar dapat dimaknai sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku peserta didik berubah ke arah yang lebih baik (Darsono, 2000: 24). Adapun yang dimaksud dengan proses belajar adalah sarana dan cara bagaimana suatu generasi belajar, atau dengan kata lain bagaimana sarana belajar itu secara efektif digunakan. Hal ini tentu berbeda dengan proses belajar yang diartikan sebagai cara bagaimana para pembelajar itu memiliki dan mengakses isi pelajaran itu sendiri (Tilaar, 2002: 128).
    Berangkat dari pengertian tersebut, maka dapat dipahami bahwa belajar membutuhkan hubungan dialogis yang sungguh-sungguh antara guru dan peserta didik, dimana penekanannya adalah pada proses belajar oleh peserta didik (student of learning), dan bukan pengajaran oleh guru (teacher of teaching) (Suryosubroto, 1997: 34). Konsep seperti ini membawa konsekuensi kepada fokus belajar yang lebih ditekankan pada keaktifan peserta didik sehingga proses yang terjadi dapat menjelaskan sejauh mana tujuan-tujuan belajar yang telah ditetapkan dapat dicapai oleh peserta didik.
    Keaktifan peserta didik ini tidak hanya dituntut secara fisik saja, tetapi juga dari segi kejiwaan. Apabila hanya fisik peserta didik saja yang aktif, tetapi pikiran dan mentalnya kurang aktif, maka kemungkinan besar tujuan belajar tidak tercapai. Ini sama halnya dengan peserta didik tidak belajar, karena peserta didik tidak merasakan perubahan di dalam dirinya (Fathurrohman & Sutikno, 2007: 9).
Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, sehingga terjadi perubahan perilaku kearah yang lebih baik. Dan tugas guru adalah mengkoordinasikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik. Belajar juga dapat diartikan sebagai usaha sadar pendidik untuk membantu peserta didik agar mereka dapat belajar sesuai dengan kebutuhan dan minatnya. Disini pendidik berperan sebagai fasilitator yang menyediakan fasilitas dan menciptakan situasi yang mendukung peningkatan kemampuan belajar peserta didik.

Fungsi-fungsi belajar yaitu sebagai berikut:
1.      Belajar sebagai system
Belajar sebagai sistem terdiri dari sejumlah komponen yang terorganisir antara lain tujuan belajar , materi belajar , strategi dan metode belajar, media belajar/alat peraga , pengorganisasian kelas, evaluasi belajar, dan tindak lanjut belajar (remedial dan pengayaan).

2.      Belajar sebagai proses
Belajar sebagai proses merupakan rangkaian upaya atau kegiatan guru dalam rangka membuat siswa belaja, meliputi:
a)      Persiapan, merencanakan program pengajaran  tahunan, semester, dan penyusunan persiapan mengajar (lesson plan) dan  penyiapan perangkat kelengkapannya antara lain alat peraga, dan alat evaluasi, buku  atau media cetak lainnya.
b)      Melaksanakan kegiatan belajar  dengan mengacu pada persiapan belajar  yang telah dibuatnya. Banyak dipengaruhi oleh pendekatan atau strategi dan metode-metode belajar yang telah dipilih dan dirancang penerapannya, serta filosofi kerja dan komitmen guru , persepsi, dan sikapnya terhadap siswa;
c)      Menindaklanjuti belajar  yang telah dikelolanya. Kegiatan pasca belajar ini dapat berbentuk enrichment (pengayaan), dapat pula berupa pemberian layanan remedial teaching bagi siswa yang berkesulitan belajar.

Ciri-ciri belajar sebagai berikut :
  1. Merupakan upaya sadar dan disengaja
  2. Belajar harus membuat siswa belajar
  3. Tujuan harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum proses dilaksanakan
  4. Pelaksanaannya terkendali, baik isinya, waktu, proses maupun hasil
c.       Tujuan Belajar
Tujuan belajar adalah sejumlah hasil belajar yang menunjukkan bahwa siswa telah melakukan tugas belajar, yang umumnya meliputi pengetahuan,keterampilan dan sikap-sikap yang baru, yang diharapkan tercapai oleh siswa. tujuan belajar adalah suatu deskripsi mengenai tingkah laku yang diharapkan tercapai oleh siswa setelah berlangsungnya proses belajar.
   Tujuan belajar menurut Sukandi (1983: 18) adalah mengadakan perubahan tingkah laku dan perbuatan. Perubahan itu dapat dinyatakan sebagai suatu kecakapan keterampilan, kebiasaan, sikap, pengertian, sebagai pengetahuan atau penerimaan dan penghargaan. Sedangkan Surakhmat(1986) mengatakan bahwa tujuan belajar adalah mengumpulkan pengetahuan, penanaman konsep dan pengetahuan, dan pembentukan sikap dan perbuatan.

B.     HAKIKAT BAHASA
 Pada hakikatnya belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia baik secara lisan maupun tertulis (Depdikbud, 1995:9). Kemampuan menggunakan bahasa dalam komunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan pendekatan dalam pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak. Untuk itu, dalam kurikulum pendidikan dasar 1994 rambu-rambu pembelajaran bahasa dianjurkan agar dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa yang mencakup aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan sastra Indonesia dapat dipadukan atau dikaitkan dengan mata pelajaran lain seperti IPA, IPS, dan matematika (Depdikbud, 1995:12).
    Pendekatan terpadu dalam pembelajaran bahasa dilandasi pandangan bahasa holistic (whole language) yang memperlakukan bahasa sebagai sesuatu yang bulat dan utuh. Pada hakikatnya whole language merupakan falsafah pandangan atau keyakinan tentang hakikat belajar dan bagaimana anak belajar secara optimal (Akhadiah, 1994:10). Selanjutnya Weaver menyatakan bahwa whole language pada dasarnya merupakan falsafah pandangan atau keyakinan tentang hakikat belajar dan bagaimana anak dapat belajar secara optimal. Sistem landasan keterpaduan dalam pembelajaran bahasa menyatakan bahwa belajar bahasa akan lebih mudah terjadi jika bahasa itu disajikan secara holistic nyata, relevan, bermakna, serta fungsional, jika bahasa itu disajikan dalam konteks pembicaraan dan dipilih siswa untuk digunakan.
   Bahasa hanya merupakan bahasa jika merupakan keseluruhan. Sedangkan Yeager (1991:1) menyatakan bahwa pembelajaran bahasa secara terpadu menaruh penghargaan terhadap bahasa dan dengan seksama meningkatkan penguasaan bahasa siswa. Selanjutnya Eisele menyatakan bahwa pada hakikatnya whole language itu bukan sesuatu apa/berbeda, dan ini bukan sebuah perangkat materi/bahan dan bukan sebuah resep untuk sukses. Whole language adalah suatu cara berpikir tentang bagaimana anak belajar bahasa-bahasa lisan dan bahasa tulisan (Eisele, 1991:3). Anak itu secara alamiah memperoleh bahasa lisan melalui mendengarkan (menyimak) dan berbicara. Selama tahun-tahun perkembangan ini, kesempurnaan itu diharapkan; anak-anak itu bebas berbuat kekeliruan. Orang dewasa mengerti dan menerima sebab mereka menyadari bahwa belajar itu perlu waktu dan latihan. Bagaimanapun ketika anak memulai membaca dan menulis, cepat berhasil itu sering diharapkan. Berkaitan dengan bahasa lisan, anak-anak perlu banyak latihan membaca dan menulis melalui pengalaman-pengalaman yang bermakna. Mereka juga perlu kebebasan untuk berbuat keliru dan belajar dari kekeliruan mereka itu. Oleh karena para guru whole language mengetahui bagaimana belajar bahasa, mereka memberikan waktu dan kesempatan belajar praktik untuk perkembangan baca-tulis.
Tidak ada sebuah resep untuk program whole language, tetapi kelas ini untuk memadukan beberapa holis saja. Para siswa di dalam kelas whole language akan melakukan
Ø  berkembang melalui tahap-tahap sesuai dengan perkembangan,
Ø  dilibatkan di dalam interaksi sosial sepanjang hari,
Ø  berbagai tanggungjawab untuk belajar mereka,
Ø  merasa senang mencoba dan praktik baca dan tulis tanpa takut kritikan,
Ø  mengevaluasi kemajuan mereka sebagai bagian alami dari semua pengalaman belajar.

Guru di dalam kelas whole language akan melakukan

a.       memandang para siswa sebagai berkemampuan,
b.      menjadi pengamat dan turut serta belajar saat mereka berinteraksi dengan para siswa,
c.       mendemonstrasikan dan memberikan model bacaan dan tulisan,
d.      berperan sebagai fasilitator untuk murid belajar, dan
e.       olist kepada siswa kekhususan, umpan balik yang positif.

Pembelajaran di dalam kelas whole language adalah :
1)      Mengajarkan membaca dan menulis melalui pengalaman bacaan dan tulisan autentik,
2)       berasumsi isi dan proses belajar adalah sama pentingnya,
3)      mengimplementasikan aktivitas kelas yang dipusatkan kepada para siswa dan yang bermakna,
4)      merangkumkan pemaduan proses bahasa dengan melintasi bidang-bidang isi (mata pelajaran),
5)      memberikan bacaan berkualitas untuk membantu perkembangan literasi,
6)      tujuan itu sebagai alat pemberdayaan siswa melalui kepemilikan dan pemilihan.
Eisele juga menyatakan bahwa perubahan-perubahan positif dan menarik pada murid dan guru sebagai hasil dari penggunaan filosofi whole language. Perubahan-perubahan itu meliputi:
a.       siswa di dalam kelas whole language untuk belajar. Kegairahan mereka memperlancar semangat guru untuk mengajar,
b.      murid ikut mengambil tanggungjawab yang lebih besar atas belajar sebagai hasil dari pengelolaan kelas yang lebih baik dan lebih banyak waktu bagi guru untuk berinteraksi dengan siswa,
c.       penggunaan buku yang diperdagangkan dan pengalaman penulis yang bermakna adalah lebih memberikan motivasi pada diri guru dan siswa,
d.      guru akan lebih banyak belajar tentang lierasi dan proses bahasa anak-anak melalui pemanfaatan mereka di dalam pembelajaran sehari-hari,
e.       kegairahan, semangat dan minat guru akan membuat guru memperoleh inspirasi dan pembaharuan pada penutupan pembelajaran setiap harinya, dan
f.       umpan balik yang positif dari orang tua, anak, teman sejawat, dan tatausaha akan menjadi bonus tambahan bagi guru.

  Pandangan whole language tentang kurikulum menjelaskan bahwa karena bahasa paling mudah dipelajari jika disajikan secara utuh dan dalam konteks yang alamiah, maka keterpaduan merupakan prinsip kunci untuk perkembangan bahasa dan belajar melalui bahasa. Dalam praktiknya perkembangan bahasa dan bidang studi merupakan dua pihak yang terpisah. Dalam hal ini Goodman dalam Akhadiah melihat bahwa guru harus melakukan tugas ganda. Mereka harus mengoptimalkan kesempatan siswa untuk menggunakan bentuk bahasa yang wajar pada waktu belajar IPA, IPS, Matematika, dan Sastra. Guru sekaligus menilai perkembangan bahasa dan perkembangan kognitrif. Kegiatan berbicara, mendengarkan, menulis, membaca, dan berbicara dalam konteks penjelajahan benda, peristiwa, gagasan, da pengalaman.
Untuk menerapkan pembelajaran terpadu, guru-guru yang berpandangan whole language kerap kali menciptakan unit tematik yang mungkin dikembangkan sesuai dengan kebutuhan anak dan masyarakat (Akhadiah, 1994:14). Weaver (1990) menyatakan prinsip dan praktik whole language beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

whole language adalah suatu pandangan yang berakar pada kenvergensi antara berbagai disiplin yang mencakup psikologi kognitif dan teori belajar, psikolinguistik dan sosiolinguistik, antropologi dan filsafat, serta pendidikan.

 Whole language merupakan pandangan tentang anak dan cara mereka belajar:
a.       pandangan whole language didasarkan atas observasi bahwa anak-anak berkembang dan belajar dengan lebih mudah bila mereka aktif mengikuti purse proses belajar sendiri. Mereka akan lebih mudah menguasai berbagai konsep dan strategi serta konsep yang kompleks dalam menulis dan membaca, misalnya, bila mereka terlibat secara nyata dalam kegiatan membaca dan menulis teks yang sebenarnya betapapun singkatnya,
b.       untuk memacu membaca dan menulis permulaan emergent reading and writing, whole language mencoba mencontoh strategi para orang tua yang dengan berhasil mendorong pemerolehan bahasa dan kemampuan baca tulissecara alamiah,
c.       berdasarkan pengetahuan bahwa kemampuan baca tulis paling baik dikembangkan melalui penggunaan secara fungsional, maka pengalaman membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan diarahkan pada kegiatan bahasa nyata,
d.       belajar dipacu melalui interaksi social. Diskusi, saling berbagi gagasan, kerjasama dalam memecahkan maslah dan melaksanakan tugas meningkatkan proses belajar,
e.       siswa dipandang cakap dan sedang berkembang,
f.        mendorong tumbuhnya sikap demokratis yang menerapkan teknologi tinggi, pemikir dan pelaku mandiri, kritis, dan mampu mengolah informasi (Weaver, 1990:22-26).

Wilson menyatakan bahwa mempelajari bahasa lebih mudah apabila dipelajari secara utuh dan dalam konteks lingkungan. Integrasi merupakan kunci untuk pengembangan bahasa dan belajar melalui bahasa. Perluasan kurikulum berdasarkan atas pengetahuan lingkungan anak sendiri dan menggunakan bahasa dalam konteks yang bermakna (Wilson, 1994:1,7). Dalam pembelajaran bahasa di sekolah, guru tidak perlu memberikan tema-tema yang spesifik karena anak-anak belajar bahasa seperti mencari teman belajar tentang lingkungannya dan lingkungan keluarga sendiri.
        Routman menyatakan bahwa keterpaduan sudah terkandung dalam pembelajaran whole language (Routman, 1991:276). Keterpaduan bahasa adalah suatu pendekatan belajar dan cara berpikir yang menghargai keterhubungan dari proses bahasa itu seperti membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan sebagai keterpaduan pembelajaran yang berarti dalam segala bidang studi. Keterpaduan merupana pendekatan dalam belajar dan cara berpikir yang memandang proses berbahasa sebagai bagian integral dalam belajar di bidang apapun. Ini berarti bahwa khususnya di SD bahasa tidak dipelajari sebagai mata pelajaran seperti sains, misalnya, melainkan terpadu dalam penggunaannya untuk mempelajari apapun. Aspek-aspek keterampilan berbahasa dikembangkan secara langsung melalui kegiatan belajar dalam semua bidang. Agar dapat terjadi keterpaduan dalam pembelajaran dapat menggunakan unit tematik. Hal ini menjadi sarana keterpaduan di samping memberikan makna bagi anak.
          Dalam pelaksanaan pembelajaran, dari semua tema itu diturunkan gagasan atau pengertian yang harus dipelajari anak melalui kegiatan belajar dalam berbagai biodang studi. Dinyatakan pula bahwa suatu unit tematik dapat merupakan unit terpadu hanya jika tema itu bermakna, relevan dengan kurikulum dan kehidupan anak, sejalan dengan prinsip bahasa holistic, dan autentik dalam hubungannya dengan proses keterampilan berbahasa. Dalam hal ini, keterpaduan tidak harus selalu merupakan keterpaduan antar bidang studi. Keterpaduan antar bidang studi hanya dilakukan bila keterpaduan itu memperkaya dan memperluas proses belajar anak.
      Dengan demikian, secara kasar keterpaduan dapat dibedakan sebagai keterpaduan intra bidang studi dan keterpaduan antar bidang studi. Dalam keterpaduan intra bidang studi, misalnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia, setelah tema ditentukan, kemudian dikembangkan aspek keterampilan membaca, menulis, berbicara, dan menyimak. Sedangkan keterpaduan antar bidang studi, anak-anak belajar menggunakan aspek-aspek keterampilan bahasa melalui kegiatan belajar dalam berbagai bidang studi. Mereka belajar menggunakan bahasa untuk berbagai keperluan, seperti untuk mencari atau memberikan informasi, mengungkapkan perasaan atau tanggapan, mengaanalisis, serta memecahkan permasalahan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEORI BELAJAR NATIVISTIK

sejarah dan Atribut PMKRI

tugas apresiasi sastra