semantik bahasa indonesia



TUGAS SEMANTIK BAHASA INDONESIA




OLEH

NAMA       : NOBERTUS HARDU
NIM           : 513 06 042
KELAS     : B



FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS PANCASAKTI
MAKASSAR
2015


1.  Bahasa Bersifat Arbitrer
Kata arbitrer mengandung arti sewenang-wenang, manasuka. Tetapi istilah arbitrer disini adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut (Chaer 1994:45). Yang dimaksud dengan arbitrer adalah tidak adanya hubungan langsung yang bersifat wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya. Dengan kata lain, hubungan antara bahasa dan wujud bendanya hanya didasarkan pada kesepakatan antara penurut bahasa di dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Misalnya, lambang bahasa yang berwujud bunyi kuda dengan rujukannya yaitu seekor binatang berkaki empat yang biasa dikendarai, tidak ada hubungannya sama sekali, tidak ada ciri alamiahnya sedikit pun.
2. Semiotika Charles Sander Peirce
     Menurut Peirce semiotika didasarkan pada logika, karena logika mempelajari bagaimana orang bernalar, sedangkan penalaran menurut Peirce dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Kita mempunyai kemungkinan yang luas dalam keanekaragaman tanda-tanda, dan di antaranya tanda-tanda linguistik merupakan kategori yang penting, tetapi bukan satu-satunya kategori. Dengan mengembangkan semiotika, Peirce memusatkan perhatian pada berfungsinya tanda pada umumnya. Ia memberi tempat yang penting pada linguistik, namun bukan satu-satunya. Hal yang berlaku bagi tanda pada umumnya berlaku pula bagi tanda linguistik, tapi tidak sebaliknya. Menurut Peirce tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Dengan demikian sebenarnya Peirce telah menciptakan teori umum untuk tanda-tanda. Secara lebih tegas ia telah memberikan dasar-dasar yang kuat pada teori tersebut dalam tulisan yang tersebar dalam berbagai teks dan dikumpulkan dua puluh lima tahun setelah kematiannya dalam Ouvres Completes (karya lengkap). Teks-teks tersebut mengandung pengulangan dan pembetulan dan hal ini menjadi tugas penganut semiotika Peirce untuk menemukan koherensi dan menyaring hal-hal yang penting. Peirce mengehendaki agar teorinya yang bersifat umum ini dapat diterapkan pada segala macam tanda, dan untuk mencapai tujuan tersebut, ia memerlukan konsep-konsep baru. Untuk melengkapi konsep itu ia menciptakan kata-kata baru yang diciptakannya sendiri (Kaelan, 2009: 166).
Bagi Peirce, tanda “is something which stands to somebody for something in some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini, Peirce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, keras, lemah, lembut, merdu. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia.
Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol).
a. Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya, potret dan peta.
b. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Contoh yang paling jelas ialah asap sebagai tanda adanya api. Tanda dapat pula mengacu ke denotatum melalui konvensi. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi,
c. simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbriter atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.
Berdasarkan interpretant, tanda (sign, representamen) dibagi atas rheme, dicent sign atau dicisign dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Misalnya, orang yang merah matanya dapat saja menandakan bahwa orang itu baru menangis, atau menderita penyakit mata, atau mata dimasuki insekta, atau baru bangun, atau ingin tidur. Dicent sign atau dicisign adalah tanda sesuai kenyataan. Misalnya, jika pada suatu jalan sering terjadi kecelakaan, maka di tepi jalan dipasang rambu lalu lintas yang menyatakan bahwa di situ sering terjadi kecelakaan. Argument adalah tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu (Sobur, 2006: 41-42).
Berdasarkan berbagai klasifikasi tersebut, Peirce membagi tanda menjadi sepuluh jenis (Sobur, 2006: 42-43).:
1)  Qualisign, yakni kualitas sejauh yang dimiliki tanda. kata keras menunjukkan kualitas tanda. misalnya, suaranya keras yang menandakan orang itu marah atau ada sesuatu yang diinginkan.
2)  Inconic Sinsign, yakni tanda yang memperlihatkan kemiripan. Contoh: foto, diagram, peta, dan tanda baca.
3)  Rhematic Indexical Sinsign, yakni tanda berdasarkan pengalaman langsung, yang secara langsung menarik perhatian karena kehadirannya disebabkan oleh sesuatu. Contoh: pantai yang sering merenggut nyawa orang yang mandi di situ akan dipasang bendera bergambar tengkorak yang bermakna, dilarang mandi di sini.
4)  Dicent Sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang sesuatu. Misalnya, tanda larangan yang terdapat di pintu masuk sebuah kantor.
5)  Iconic Legisign, yakni tanda yang menginformasikan norma atau hukum. Misalnya, rambu lalu lintas.
6)  Rhematic Indexical Legisign, yakni tanda yang mengacu kepada objek tertentu, misalnya kata ganti penunjuk. Seseorang bertanya, “Mana buku itu?” dan dijawab, “Itu!”
7)  Dicent Indexical Legisign, yakni tanda yang bermakna informasi dan menunjuk subyek informasi. Tanda berupa lampu merah yang berputar-putar di atas mobil ambulans menandakan ada orang sakit atau orang yang celaka yang tengah dilarikan ke rumah sakit.
8) Rhematic Symbol atau Symbolic Rheme, yakni tanda yang dihubungkan dengan objeknya melalui asosiasi ide umum. Misalnya, kita melihat gambar harimau. Lantas kita katakan, harimau. Mengapa kita katakan demikian, karena ada asosiasi antara gambar dengan benda atau hewan yang kita lihat yang namanya harimau.
9)  Dicent Symbol atau Proposition (porposisi) adalah tanda yang langsung meghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Kalau seseorang berkata, “Pergi!” penafsiran kita langsung berasosiasi pada otak, dan sertamerta kita pergi. Padahal proposisi yang kita dengar hanya kata. Kata-kata yang kita gunakan yang membentuk kalimat, semuanya adalah proposisi yang mengandung makna yang berasosiasi di dalam otak. Otak secara otomatis dan cepat menafsirkan proposisi itu, dan seseorang secara otomatis dan cepat menafsirkan proposisi itu, dan seseorang segera menetapkan pilihan atau sikap.
10)  Argument, yakni tanda yang merupakan iferens seseorang terhadap sesuatu berdasarkan alasan tertentu. Seseorang berkata, “Gelap.” Orang itu berkata gelap sebab ia menilai ruang itu cocok dikatakan gelap. Dengan demikian argumen merupakan tanda yang berisi penilaian atau alasan, mengapa seseorang berkata begitu. Tentu saja penilaian tersebut mengandung kebenaran.
3. Apakah semua tataran bahasa mempunyai persoalan semantic
Semantic adalah kata benda yang mempunyai arti atau lammbang, Kedudukan serta objek studi semantik, yaitu makna dalam keselururhan sistematika bahasa. Tidak semua tataran bahasa memiliki masalah semantik. Leksikon dan morfologi memiliki, tetapi fonetik tidak.
Beberapa jenis semantik, yang dibedakan berdasarkan tataran atau bagian dari bahasa itu yang menjadi objek penyelidikannya. Kalau yang menjadi objek penyelidikannya adalah leksikon dari bahasa itu maka jenis semantiknyan disebut semantik leksikal. Dalam semantik leksikal ini diselidiki makna yang ada pada leksem-leksem dari bahasa tersebut. Oleh karena itu, makna yang ada pada leksem-leksem itu disebut makna leksikal. Leksem adalah istilah yang lazim digunakan dalam studi semantik untuk menyebut satuan-satuan bermakna
Sebagai satuan semantik, leksem dapat berupa sebuah kata dapat juga berupa gabungan kata. Kumpulan dari leksem suatu bahasa disebut leksikon; sedangkan kumpulan kata-kata dari suatu bahasa disebut leksikon atau kosa kata. Dalam studi morfologi leksem ini sering diartikan sebagai satuan abstrak yang setelah melalui  proses morfologi akan membentuk kata.
Pada tataran fonetik tidak ada semantik karena fon yang menjadi satuan dari fonetik tidak memiliki makna. Karena tidak ada objek studinya maka tentu saja tidak ada ilmunya. Pada tataran fonologi (atau fonemik) pun tidak ada semantik karena, walaupun fonem yang menjadi satuan dalam studi fonemik mempunyai fungsi untuk membedfakan makna kata, tetapi fonem itu sendiri tidak bermakna.
Tataran tata bahasa atau gramatika dibagi menjadi dua subtataran, yaitu morfologi dan sintaksis. Pada tataran ini ada masalah-masalah semantik yaitu yang disebut semantik gramatikal karena objek studinya adalah makna-makna gramatikal dari tataran tersebut.
Semantik sintaksial sasaran penyelidikannya tertumpu pada hal-hal yang berkaitan dengan sintaksis, mengingat dalam sintaksis ada tataran bawahan yang disebut (a) fungsi gramatikal, (b) kategori gramatikal, dan (c) peran gramatikal. Semantik kalimat membicarakan hal-hal seperti topikalisasi kalimat. Semantik maksud berkenaan dengan pemakaian bentuk-bentuk gaya bahasa. Verhaar (1978: 130).          

4.  Jenis perubahan makna
        Beberapa jenis perubahan makna yaitu:

a.             Generalisasi
Generalisasi atau perluasan makna adalah suatu proses perubahan makna kata dari kata yang lebih khusus kepada yang lebih umum, atau dari yang lebih sempit kepada yang lebih luas. Dengan kata lain, cakupan makna pada masa kini lebih luas daripada makna pada masa lalu. Misalnya, kata bapak yang dulunya bermakna ‘ayah’, kini bermakna ‘semua orang yang berkedudukan lebih tinggi’.
b.             Spesialisasi
Proses spesialisasi atau pengkhususan penyempitan mengacu kepada suatu perubahan yang mengakibatkan makna kata menjadi lebih khusus atau lebih sempit dalam aplikasinya. Kata tertentu pada suatu waktu dapat diterapkan pada suatu kelompok umum, tetapi belakangan semakin terbatas atau kian sempit dan khusus maknanya. Misalnya, kata sastra yang dulunya bermakna ‘tulisan’, kini dipersempit maknanya atau terkhusus menjadi ‘ karya seni bahasa’.
c.              Perubahan Total
Perubahan total adalah berubahnyasama sekali makna sebuah kata dari makna asalnya. Misalnya, kata ceramah pada mulanya berarti ‘cerewet’ atau ‘banyak cakap’ tetapi kini berarti ‘pidato atau uraian mengenai suatu hal yang disampaikan mengenai suatu hal yang disampaikan di depan orang banyak.
d.             Penghalusan (Eufemia)
Dalam pembicaraan mengenai penghalusan, sesorang akan berhadapan dengan gelaja ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna yang lebih halus atau lebih sopan daripada yang akan digantikan. Misalnya, kata penjara atau bui diganti dengan kata atau ungkapan yang lebih halus yaitu Lembaga pemasyarakatan.
e.              Pengasaran
Pengasaran (disfemia), yaitu usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang maknanya lebih kasar. Usaha atau gejala pengasaran tersebut terjadi di saat seseorang dalam situasi yang tidak ramah atau untuk menunjukkan kejengkelan. Misalnya, kata mendepak dipakai untuk menggantikan kata mengeluarkan, seperti dalam kalimat ‘Dia berhasil mendepak Ibu Idha dari kedudukannya.’


f.              Sinestesia
Sinestesia adalah perubahan makna yang terjadi sebagai akibat pertukaran tanggapan antara dua indra yang berbeda. Misalnya, suaranya berat sekali; suara adalah urusan indra pendengar, tetapi dalam contoh menjadi urusan indra perasa.




DAFTAR PUSTAKA
Chaer,abdul.pengantar semantic bahasa Indonesia. Rineka cipta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEORI BELAJAR NATIVISTIK

sejarah dan Atribut PMKRI

tugas apresiasi sastra